Minggu, 15 November 2015

Kabut asap belum juga berlalu. Berapa banyak orang yang terancam kesehatannya? Berapa kerugian ekonomi yang terganggu karena pekatnya? Dan, berapa ribu anak yang terhambat proses pendidikannya, buruh-buruh harian yang kehilangan rejekinya, orang-orang yang kehilangan rumah tempat tinggal dan lahan untuk mata pencahariannya? Dampak Kabut Asap Begitu besar dampak dari kabut asap ini; baik dampak secara ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lingkungan. Data dari Litbang Kompas/BEY, tanggal 05 September 2015 mengenai dampak-dampak ini sebagai berikut: Dampak secara ekonomi mencakup terganggunya jadwal penerbangan, ditutupnya sejumlah bandara, hingga berdampak pada berkurangnya jumlah wisatawan dan aktivitas bisnis. Perkiraan kerugian setahun Rp 7,3 triliun. Dampak bagi kesehatan, sebanyak 25.6 juta jiwa di wilayah Sumatera dan 6.762 di wilayah Kalimantan terkena infeksi saluran pernapasan akut. Adapun dampak secara pendidikan berupa penghentian kegiatan belajar di sekolah selama kabut asap masih membahayakan. Sudah sekitar tiga minggu, kegiatan belajar di Pekanbaru Riau dihentikan hingga menunggu kondisi membaik. Dari sisi lingkungan, kualitas udara di wilayah yang terkena asap, sangatlah buruk. Data tanggal 3 September 2015, indeks standar pencemaran udara di Riau mencapai 500, angka ini masuk kategori sangat berbahaya bagi manusia Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura pun juga terkena dampak dari kabut asap ini. Bila terus menerus dibiarkan bukan tidak mungkin akan mengganggu hubungan bilateral Indonesia dengan kedua negara. Ironi Musim Asap Ironisnya, bencana kabut asap ini terjadi rutin setiap tahun. Sebagian warga Palembang menyebutnya sebagai musim asap. Sudah tujuh belas tahun, kabut asap ini terjadi di setiap puncak musim kemarau. Maka musim asap ini ibarat musim yang datang bergantian dengan musim kemarau dan musim hujan. Padahal, jelas sekali berbeda. Musim hujan dan musim kemarau terjadi karena peristiwa alam, sedangkan musim asap terjadi terutama karena ulah manusia, yaitu dari pembakaran lahan-lahan untuk perkebunan atau tanaman industri. Lantas ketika dampak-dampak ini nyata-nyata telah mengganggu lingkungan, kesehatan dan aktivitas manusia, akankah hal ini terus dibiarkan ibarat datangnya sebuah musim yang selalu datang? Tentu bukan itu yang diharapkan. Harapannya adalah, kabut asap yang merupakan sebuah bencana ini, bisa dicegah dan tidak ada lagi di tahun-tahun mendatang. Pencegahan vs Pemadaman Hingga tanggal 17 September 2015, penyidik polisi telah menetapkan 140 tersangka pelaku kebakaran hutan. Mereka diancam kurungan maksimal 10 tahun dan denda maksimal 10 miliar. Beberapa perusahaan terancam dicabut uzin usahanya. Secara perdata Kementerian Lingkungan Hidup menggugat perusahaan tanaman industri PT. Bumi Mekar Hijau atas kerugian negara sebesar 7,9 triliun dari kebakaran hutan dan lahan tahun 2014. Ini adalah gugatan terbesar dalam sejarah penanganan kasus kebakaran (Kompas, 17 September 2015). Usaha untuk memadamkan kebakaran lahan sungguh telah menguras banyak tenaga, waktu, dan biaya. Lebih dari 1000 TNI diturunkan, pemadaman baik dari darat dan udara juga telah dilakukan. Namun kebakaran masih terus berlangsung, terlebih di daerah-daerah gambut, api sulit sekali dipadamkan. Dengan dampak yang begitu besar dan usaha-usaha pemadaman kebakaran yang sangat melelahkan, akankah peristiwa kebakaran lahan ini akan dibiarkan rutin terjadi? Manakah yang lebih efektif, mencegah terjadinya kebakaran lahan, atau melakukan usaha-usaha pemadaman? Penulis yakin, pencegahan jelas lebih efektif. Masalahnya adalah, apakah usaha-usaha pencegahan sudah dilakukan secara maksimal agar peristiwa kebakaran lahan tidak rutin terjadi.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/www.jogya.com/pencegahan-atau-penanggulangan-kabut-asap_560344f906b0bd9f0ec0fb7c

Tidak ada komentar:

Posting Komentar