Kabut asap belum juga
berlalu. Berapa banyak orang yang terancam kesehatannya? Berapa kerugian
ekonomi yang terganggu karena pekatnya? Dan, berapa ribu anak yang
terhambat proses pendidikannya, buruh-buruh harian yang kehilangan
rejekinya, orang-orang yang kehilangan rumah tempat tinggal dan lahan
untuk mata pencahariannya?
Dampak Kabut Asap
Begitu besar dampak dari kabut asap ini; baik dampak secara ekonomi,
kesehatan, pendidikan dan lingkungan. Data dari Litbang Kompas/BEY,
tanggal 05 September 2015 mengenai dampak-dampak ini sebagai berikut:
Dampak secara ekonomi mencakup terganggunya jadwal penerbangan,
ditutupnya sejumlah bandara, hingga berdampak pada berkurangnya jumlah
wisatawan dan aktivitas bisnis. Perkiraan kerugian setahun Rp 7,3
triliun.
Dampak bagi kesehatan, sebanyak 25.6 juta jiwa di wilayah Sumatera dan
6.762 di wilayah Kalimantan terkena infeksi saluran pernapasan akut.
Adapun dampak secara pendidikan berupa penghentian kegiatan belajar di
sekolah selama kabut asap masih membahayakan. Sudah sekitar tiga minggu,
kegiatan belajar di Pekanbaru Riau dihentikan hingga menunggu kondisi
membaik.
Dari sisi lingkungan, kualitas udara di wilayah yang terkena asap,
sangatlah buruk. Data tanggal 3 September 2015, indeks standar
pencemaran udara di Riau mencapai 500, angka ini masuk kategori sangat
berbahaya bagi manusia
Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura pun juga terkena
dampak dari kabut asap ini. Bila terus menerus dibiarkan bukan tidak
mungkin akan mengganggu hubungan bilateral Indonesia dengan kedua
negara.
Ironi Musim Asap
Ironisnya, bencana kabut asap ini terjadi rutin setiap tahun. Sebagian
warga Palembang menyebutnya sebagai musim asap. Sudah tujuh belas tahun,
kabut asap ini terjadi di setiap puncak musim kemarau. Maka musim asap
ini ibarat musim yang datang bergantian dengan musim kemarau dan musim
hujan. Padahal, jelas sekali berbeda. Musim hujan dan musim kemarau
terjadi karena peristiwa alam, sedangkan musim asap terjadi terutama
karena ulah manusia, yaitu dari pembakaran lahan-lahan untuk perkebunan
atau tanaman industri.
Lantas ketika dampak-dampak ini nyata-nyata telah mengganggu lingkungan,
kesehatan dan aktivitas manusia, akankah hal ini terus dibiarkan ibarat
datangnya sebuah musim yang selalu datang? Tentu bukan itu yang
diharapkan. Harapannya adalah, kabut asap yang merupakan sebuah bencana
ini, bisa dicegah dan tidak ada lagi di tahun-tahun mendatang.
Pencegahan vs Pemadaman
Hingga tanggal 17 September 2015, penyidik polisi telah menetapkan 140
tersangka pelaku kebakaran hutan. Mereka diancam kurungan maksimal 10
tahun dan denda maksimal 10 miliar. Beberapa perusahaan terancam dicabut
uzin usahanya.
Secara perdata Kementerian Lingkungan Hidup menggugat perusahaan tanaman
industri PT. Bumi Mekar Hijau atas kerugian negara sebesar 7,9 triliun
dari kebakaran hutan dan lahan tahun 2014. Ini adalah gugatan terbesar
dalam sejarah penanganan kasus kebakaran (Kompas, 17 September 2015).
Usaha untuk memadamkan kebakaran lahan sungguh telah menguras banyak
tenaga, waktu, dan biaya. Lebih dari 1000 TNI diturunkan, pemadaman baik
dari darat dan udara juga telah dilakukan. Namun kebakaran masih terus
berlangsung, terlebih di daerah-daerah gambut, api sulit sekali
dipadamkan.
Dengan dampak yang begitu besar dan usaha-usaha pemadaman kebakaran yang
sangat melelahkan, akankah peristiwa kebakaran lahan ini akan dibiarkan
rutin terjadi? Manakah yang lebih efektif, mencegah terjadinya
kebakaran lahan, atau melakukan usaha-usaha pemadaman?
Penulis yakin, pencegahan jelas lebih efektif. Masalahnya adalah, apakah
usaha-usaha pencegahan sudah dilakukan secara maksimal agar peristiwa
kebakaran lahan tidak rutin terjadi.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/www.jogya.com/pencegahan-atau-penanggulangan-kabut-asap_560344f906b0bd9f0ec0fb7c
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/www.jogya.com/pencegahan-atau-penanggulangan-kabut-asap_560344f906b0bd9f0ec0fb7c